Best Seller

Peti Mati Terlaris

Gambar
®MEBEL JATI SHOP RIMBA JAYA® Selamat datang di website peti jenazah peti mati dan siupan topang terbelo jepara RIMBA JAYA.  Kami memproduksi peti jenazah peti mati dan siupan berbagai jenis .  ➡ Peti jenazah peti mati segi empat ukiran perjamuan.  ➡ peti jenazah peti mati segi delapan ukiran perjamuan  ➡ peti jenazah peti mati segi empat Vanesia ukiran perjamuan  ➡ peti jenazah peti mati segi delapan diplomat ukiran perjamuan  ➡ peti jenazah peti mati bulat ukiran perjamuan ➡ peti jenazah peti mati pesawat ukiran perjamuan  ➡ peti jenazah peti mati ikan ukiran perjamuan  ➡ Peti jenazah peti mati segi empat ukiran delapan dewa .  ➡ peti jenazah peti mati segi delapan ukiran delapan dewa  ➡ peti jenazah peti mati segi empat Vanesia ukiran delapan dewa  ➡ peti jenazah peti mati segi delapan diplomat ukiran delapan dewa  ➡ peti jenazah peti mati bulat ukiran delapan dewa  ➡ peti jenazah peti mati pesawat ukiran delapan dewa  ➡ peti jenazah peti mati ikan ukiran

relif perjamuan

Rp 5,5 juta



Versi Pertama Konon ada sebuah cerita unik yang menjadi kisah sejarah asal mula munculnya seni ukir[2] di Jepara. Cerita ini menjadi sebuah dongeng sebelum tidur saya ketika masih kecil dulu. Bapak saya sering menceritakannya, berulang-ulang, dan saya tidak pernah bosan mendengarnya. Begini ceritanya. Pada zaman dahulu kala ada seorang pengukir dan pelukis dari Kerajaan Majapahit, Jawa Timur. Waktu itu masa pemerintahan raja Brawijaya. Pengukir itu bernama Prabangkara disebut juga Joko Sungging. Lukisan dan ukiran Prabangkara sudah sangat terkenal di seluruh negeri. Suatu ketika Raja Brawijaya ingin memiliki lukisan istrinya dalam keadaan telanjang tanpa busana sebagai wujud rasa cinta sang raja. OIeh karena itu, Prabangkara dipanggil untuk mewujudkan keinginan sang Raja. Hal ini tentu merupakan hal yang sulit bagi Prabangkara, Karena meskipun mengenal wajah sang istri raja, tapi dia tidak pernah meilhat istri raja tanpa busana. Dengan usaha keras dan imajinasinya, akhirnya Prabangkara berhasil mengerjakan lukisan tersebut. Ketika Prabangkara sedang istirahat, tiba-tiba saja ada seekor cicak buang tinja dan mengenai lukisan permaisuri tersebut. Kotoran cicak tersebut mengering dan menjadi bentuk seperti tahi lalat. Raja tentu sangat gembira dengan hasil karya Prabangkara tersebut. Sebuah lukisan yang sempurna , persis seperti aslinya. Sang raja mengamati lukisan tersebut dengan teliti. Begitu dia melihat tahi lalat, raja murka. Dia menuduh Prabangkara melihat langsung permaisuri tanpa busana. Karena lokasi tahi lalat persis seperti kenyataan. Raja Brawijaya pun cemburu dan menghukum pelukis Prabangkara dengan mengikatnya di layang-layang, kemudian menerbangkannya. Layang-layang itu terbang hingga ke Belakang Gunung di Jepara dan mendarat di Belakang Gunung itu. Belakang Gunung itu kini bernama Mulyoharjo di Jepara. Kemudian Prabangkara mengajarkan ilmu mengukir kepada warga Jepara pada waktu itu dan kemahiran ukir warga Jepara bertahan dan lestari hingga sekarang. Versi Kedua Menurut sejarah mengapa masyarakat Jepara mempunyai keahlian di pahat ukir[3] kayu adalah konon pada jaman dulu kala ada seorang seniman hebat yang bernama Ki Sungging Adi Luwih. Dia tinggal di kerajaan. Kepiawaian Ki Sungging ini terkenal dan sang raja pun akhirnya mengetahuinya. Singkat cerita raja bermaksud memesan gambar untuk permaisurinya kepada Ki Sungging. Ki Sungging bisa menyelesaikan gambarnya dengan baik namun pada saat Ki Sungging hendak menambahkan cat hitam pada rambutnya, ada cat yang tercecer di gambar permaisuri tersebut bagian paha sehingga nampak seperti tahilalat.Kemudian diserahkan kepada raja dan raja sangat kagum dengan hasil karyanya.Namun takdir berkata lain sang raja curiga kepada Ki Sungging difikir Ki Sungging pernah melihat permaisuri telanjang karena adanya gambar tahi lalat pada pahanya. Akhirnya raja menghukum Ki sungging dengan membawa alat pahat disuruh membuat patung permaisuri di udara dengan naik layang-layang. Ukiran patung permaisuri sudah setengah selesai tapi tiba-tiba datang angin kencang dan patung jatuh dan terbawa sampai Bali. Itulah sebabnya mengapa masyarakat Bali juga terkenal sebagai ahli membuat patung. Dan untuk alat pahat yang dipakai oleh ki Sungging jatuh di belakang gunung dan ditempat jatuhnya pahat inilah yang sekarang diakui sebagai Jepara tempat berkembangnya ukiran. Sejarah Ukiran di Masjid Astana Mantingan Ukiran di Masjid Astana Mantingan Pada masa Kerajaan Kalinyamat arsitektur Jepara mengalami kemajuan terutama dalam bidang ukir-ukiran. Tepatnya ketika Tjie Bin Thang (Toyib) dan ayah angkatnya yaitu Tjie Hwio Gwan pindah ke Jawa (Jepara), Ketika Tjie Bin Thang (Toyib) menjadi raja di sebuah Kerajaan Kalinyamat, dimana Toyib menjadi raja bergelar Sultan Hadlirin dan Tjie Hwio Gwan menjadi patih bergelar Sungging Badar Duwung. Arti dari gelar Sungging Badar Duwung yaitu (sungging "memahat", badar "batu", duwung "tajam"). Nama sungging diberikan karena Badar Duwung adalah seorang ahli pahat dan seni ukir. Tjie Hwio Gwan adalah yang membuat hiasan ukiran di dinding Masjid Astana Mantingan. Ialah yang mengajarkan keahlian seni ukir kepada penduduk di Jepara. Di tengah kesibukannya sebagai mangkubumi Kerajaan Kalinyamat (Jepara), Patih Sungging Badar Duwung masih sering mengukir di atas batu yang khusus didatangkan dari negeri Cina. Karena batu-batu dari Cina kurang mencukupi kebutuhan, maka penduduk Jepara memahat ukiran pada batu putih dan kayu. Tjie Hwio Gwan mengajarkan seni ukir kepada penduduk Jepara, sehingga arsitektur rumah di Jepara dihiasi ornamen-ornamen ukir karena warga Jepara yang trampil dalam seni ukir, bahkan kini produk furniture kayu ukiran Jepara dikenal keseluruh dunia. Bukti otentik ukiran Jepara berupa artefak peninggalan zaman Ratu Kalinyamat di Masjid Mantingan. Ukiran Jepara sudah ada jejaknya pada masa Pemerintahan Ratu Kalinyamat (1521-1546) pada 1549. Sang Ratu mempunyai anak perempuan bernama Retno Kencono yang besar peranannya bagi perkembangan seni ukir. Di kerajaan, ada mentri bernama Sungging Badarduwung, yang datang dari Campa (Cambodia) dan dia adalah seorang pengukir yang baik. Ratu membangun Masjid Mantingan dan Makam Jirat (makam untuk suaminya) dan meminta kepada Sungging untuk memperindah bangunan itu dengan ukiran. Sampai sekarang, ukiran itu bisa disaksikan di Masjid dan Makam Sultan Hadlirin. Terdapat 114 relief pada batu putih. Pada waktu itu, Sungging memenuhi permintaan Ratu Kalinyamat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SIUPAN BUATAN RIMBA JAYA

peti mati peti jenazah diplomat eropa

kami jual berbagai macam jenis peti jenazah peti mati dan siupan / terbelo